Pameran akan dibuka Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dr. Wayan Kun Adnyana, Minggu (26/1/20120) pukul 19.00 wita.
Menurut Kenyem 35 karya yang dipamerkan kali ini masih berpijak dari permenungan panjang tentang alam yang lebih mendalam dan hakiki.
Ia mengaku tetap intens dan konsisten berimajinasi tentang lingkungan yang masih tetap relevan sejak ia pertama kali berkarya pada 30 tahun silam.
Seluruh karya yang dipamerkan berukuran kecil yang dimaksudkan sebagai mozaik alam yang diimajinasikan Kenyem.
“Pameran ini merupakan salah satu bagian dari proses kreatif perjalanan berkesenian saya, seperti merekam jejak hidup,” katanya, Rabu (22/1/2020).
Yang kental dari karya terbaru ini adalah abstraksi cahaya dan warna alam dengan goresan khas serta ikon figur-figur yang seolah menjadi misteri dalam lukisan Kenyem.
Dosen ISI Denpasar Wayan Sujana Suklu yang juga sahabat Kenyem menuliskan “taxidi” diambil dari kosakata Yunani yang berarti perjalanan dengan pemaknaan luas sesuai masing-masing citraan yang ditampilkan.
“Bukan hanya perihal perjalanan ke terminal yang ingin dituju, tetapi juga penting soal pemaknaan proses selangkah demi selangkah menuju titik pencapaian tersebut,” katanya.
Suklu berkisah tentang kedekatannya dengan Kenyem yang diawali dengan kesamaan pilihan menekuni seni rupa dan kuliah di STSI Denpasar (kini ISI Denpasar) yang digambarkan sebagai perjalanan 1, 2, 3, dan 4.
Nyoman Sujana Kenyem (Foto: Instagram @artkenyem) |
Dalam perjalanan berikutnya, tumbuh kesadaran baru dalam penghadiran kaya seni ke ruang publik. Artistika sebagai struktur formal dari bahasa rupa merupakan implementasi dari reduksi gagasan serta pernyataan individual seorang perupa.
Suklu menyebut bahasa rupa sesungguhnya sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan ideologis perupa. Ia juga menuliskan perjalanan bersama Made Suta Kesuma, Nyoman Sujana Kenyem, dan Ketut Susena dalam kelompok “Mandala of Life” yang dinilai banyak memberikan pencerahan terhadap keempat anggotanya..
Kiprah Kenyem mengarungi kelana rupa ke berbagai kota dan meneguk dahaga referensi dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara untuk studi banding visual alam lingkungan secara pribadi. Upaya itu disusul mengikuti berbagai pameran dan terlibat dalam sejumlah aktivitas kesenirupaan yang semakin mematangkan perjalanan Kenyem hingga 7, 8, dan 9.
Waktu pun begitu cepat berlalu, dalam hitungan Sukklu, perjalanan sahabatnya tersebut barangkali kini telah melompat dua kali. “Kalau dihitung dua kali sembilan perjalanan yang telah ia lampaui, apakah kini Kenyem telah mencapai jenjang kedelapanbelas?” tanya Suklu.
Barangkali di luar kesadaran, seperti figur-figur repetitif yang kerap muncul dalam karya Kenyem, lompatan perjalanan itu telah menjadikan eksistensi dan pendewasaan berkesenian seorang Kenyem.
Pada akhirnya Suklu menyimpulkan pameran Taxidi 18 adalah salah satu bagian serangkaian perjalanan yang cukup panjang. Ekspresinya merupakan persepsi dan impresi estetis yahng diungkapkan melalui karyab terkini dalam pameran ini. (wan)