Penjaga Ibu Pertiwi (2022) salah satu karya Nyoman Sujana Kenyem yang dipamerkan di Titik Dua Ubud. (Foto: Dok. Prana) |
Pemerhati kebudayaan Dr. IB Rai Dharmawijaya Mantra akan membuka pameran pada Sabtu, 6 April pukul 18.00 wita.
Pameran Prana menyajikan karya lima perupa Bali yakni Wayan Redika, Ni Wayan Sutariyani, Made Wiradana, Nyoman Sujana Kenyem dan Pande Wijaya Suta.
Masing-masing perupa mempresentasikan karya yang terwujud berdasar pada keyakinan atas pengaruh kekuatan prana di saat proses cipta itu dilakukan.
Kekuatan prana dimaknai sebagai energi penciptaan yang akhirnya akan terpancar menjadi kekuatan visual dari karya masing-masing.
“Sesungguhnya prana itu adalah peranti yang sangat penting dalam karya cipta,” ujar Wayan Redika, salah seorang perupa peserta pameran.
Kata dia kekuatan yang sifatnya psikis itu mengalir di antara rasa manusia, kemudian diolah di dalam karsa manusia sebagai narasi untuk diciptakan.
Kelebihan manusia atas kemuliaan cipta, rasa, dan karsa ini sesungguhnya memberi ruang yang luas bagi manusia untuk mengembangkan jati dirinya.
Redika menyebut prana dimaknai sebagai kemampuan para seniman untuk menghimpun kekuatan gagasan yang kemudian diolah secara individu di dalam intuisi dan berakhir pada bentuk-bentuk visual.
“Karena itu dalam penciptaan lintas entitas prana adalah kekuatan universal yang mendukung proses penciptaan, seingga hasil visualnya mengarah pada karakter masing-masing melalui kemampuan teknik yang juga sangat mempribadi,” tutur Redika yang juga penyair ini.
Sebagaimana halnya dengan karya-karya yang dipamerkan, masing-masing seniman berupaya menyuguhkan bentuk visual yang selama ini telah diyakini mewakili jiwa dari senimannya.
Seniman asal Denpasar, Made Wiradana misalnya masih berkutat pada kekuatan garis yang menimbulkan varian garis yang liar desertai sapuan spontan, sisipan warna kusam dan lelehan tak beratur.
Pola penyatuan antara simbul kekaryaan inilah ia sebut sebagai pengaruh dari kekuatan prana yang ia miliki.
Begitu juga Nyoman Sujana Kenyem mengolah rasa dengan citra warna yang memikat senantiasa direduksi menjadi penanda karyanya yang mevisualkan keseimbangan semesta.
Dalam karyanya Kenyem bagai menaruh sebagian energi untuk mengolah artistiknya bertumpu pada pola dan warna yang berimbang.
Sementara itu, karya Wayan Redika tampak jelas perwujudannya dikreasi melalui keikhlasan, ketekunan dan kekuatan teknik yang telah ia capai dalam penggalian yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun.
Perpaduan objek antara penggalan budaya Bali dan fenomena kekinian berhasil diramu, dimoderasi ke dalam ruang estetik yang saling harmoni. Mencermati karyanya berjudul Vintagenic, 2023, acrylic on linen, 150 x 150cm terbaca bahwa prana berfungsi dominan dalam merekayasa pikirannya untuk membangun keseimbangan di antara objek, garis, warna, dan teknik yang ia kuasai.
Karya Made Wiradana (kiri) dan Wayan Redika (kanan). |
Demikian pula perupa Ni Wayan Sutariyani dan Pande Wijaya Suta, masing-masing muncul menjadi bagian yang tak terlepas dari kemampuan dirinya mengolah gagasan.
Mereka paham celah waktu dalam memanfaatkan energi psikis untuk menuangkan skema pikirannya sebelum tersampaikan ke ruang publik.
Dalam sebuah karya, tentu banyak hal yang bisa dibahas berkaitan dengan pengaruh prana dalam penciptaan. Karena itu pameran ini menjadi penting untuk memperluas wawasan berkarya dan memperkaya sikap kita dalam mengapresiasi karya seni.
Prana dalam bahasa Sansekerta secara sederhana dimaknai sebagai kekuatan hidup, tetapi sejatinya prana itu memiliki cakupan yang lebih luas berakar pada kekuatan itu sendiri.
Masyarakat Bali memahami prana adalah kekuatan irasional yang digali melalui proses spiritual, di mana kekuatan jiwa itu akan kembali pada wilayah kebahagiaan yang hakiki.
Pada dasarnya terminologi spiritual merupakan transformasi pikiran yang diniatkan di dalam intuisi manusia untuk mencapai sesuatu.
Pameran Prana merupakan refleksi dasar atas pengakuan sang seniman pada kekuatan prana dalam proses penciptaan.
Prana, kemudian menjadi katalisator untuk melatih intuisi menjadi peka menarasikan gagasannya sehingga pada akhirnya tercipta karya visual.
Prana yang dibangun setiap seniman, tentu tidak sama satu sama yang lain.
Hal tersebut akan memberi pengaruh penting pada kekuatan visual dan karakter karyanya yang sangat mempribadi.
Karena itu setiap karya visual juga harus dinikmati melalui pemahaman dan kekuatan prana jiwa para menikmat.
Sehingga pada akhirnya mampu menjabarkan beragam hal yang terselip dalam sebuah karya cipta.***