INIBALI.COM – Suasana Minggu malam, 2 November 2025, di Jango Creative House, Denpasar terasa hangat dan penuh persahabatan.
Ratusan penonton duduk serius, menyimak setiap adegan film “Roots” karya Michael Schindhelm, lalu larut dalam diskusi yang mengiringinya.
Film yang telah berkeliling ke berbagai tempat di Pulau Dewata ini kembali menuai apresiasi luas dari berbagai kalangan.
“Roots” merupakan film dokumenter fiksi yang mengungkap sepenggal kisah belum terungkap secara sinematis tentang Bali — kebangkitannya sebagai Eldorado pariwisata global, serta upaya gigih masyarakatnya dalam melestarikan identitas budaya di tengah gempuran globalisasi.
Seratus tahun lalu, pelukis Walter Spies untuk pertama kalinya mengunjungi Bali. Momen itu menjadi pembuka untuk melihat realitas Bali setelahnya.
Dalam film ini, arwah Walter Spies digambarkan kembali datang ke pulau ini, menghubungkan sosok Spies — yang dalam kenyataannya membawa pariwisata dan modernitas ke Bali — dengan pertanyaan penting: apa yang sebenarnya telah terjadi di Bali?
Michael dengan pendekatan yang sangat reflektif berhasil memotret ulang realitas tersebut. Melibatkan lebih dari seratus pendukung dari kalangan seniman multi-genre, film ini mampu menampilkan gambaran nyata yang ingin disampaikan kepada publik secara luas.
Jango Pramartha dari Jango Creative House dan Bog Bog menilai film “Roots” karya Michael Schindhelm bukan hanya sebagai kritik terhadap Bali dan perkembangannya, tetapi juga sebagai cara untuk menilik masa depan Bali.
Menurut Jango, di era keterbukaan media sosial saat ini, Bali seolah terus disuguhi beragam persoalan yang muncul setiap waktu.
“Film Roots adalah sarana untuk membangun ingatan kolektif atas apa yang telah terjadi, agar kita bisa melihat dan berbuat lebih baik di masa depan,” ujar kartunis yang kerap berpameran di dalam maupun luar negeri dengan tajuk GloBALIzation ini.
Jango menambahkan, Denpasar memiliki sejarah panjang dalam perkembangan pariwisata Bali. Bahkan, Bali Hotel sebagai sarana pariwisata terlengkap dan termewah di zamannya menjadi penanda penting bahwa kota ini adalah episentrum dalam perkembangan budaya.
“Melalui pemutaran film Roots karya Michael Schindhelm, catatan sejarah itu dihadirkan kembali. Kami berharap kegiatan dan ruang-ruang dialog budaya seperti ini dapat menstimulasi gerakan kebudayaan lintas generasi,” kata Jango.
Dalam kunjungannya ke Bali kali ini, Michael Schindhelm juga memutar dua film dokumenter karyanya yang berjudul “The Chinese Lives of Uli Sigg” dan “In the Mood of Art” di Universitas Warmadewa, Denpasar.
Pemutaran kedua film ini diprakarsai oleh Popo Danes Architect bekerja sama dengan Kecunduk Institute dan Jimbaran Hijau.
Michael Schindhelm juga menyempatkan diri mengunjungi kawasan Jimbaran Hub, yang dikenal sebagai laboratorium kebudayaan baru di Bali Selatan, serta berdialog dengan para seniman Bali.
Selain itu, Michael berbagi pengalaman tentang proyek seninya “After the Deluge” — sebuah karya yang membayangkan tenggelamnya Kota Basel, Swiss, untuk mengajak audiens turut menyumbangkan gagasan dalam menyelamatkan kotanya.
Dr. Putu Agung Prianta dari Jimbaran Hijau Foundation, salah satu pihak yang menginisiasi kehadiran Michael Schindhelm di Bali, menyampaikan apresiasi tinggi.
Ia menilai kehadiran Michael sangat penting dan berterima kasih atas keterbukaannya untuk berbagi pengetahuan, berdialog, serta membangun jejaring dalam upaya menempatkan seni, arsitektur, desain, serta berbagai gerakan penyelamatan dan kepedulian terhadap masa depan Bali.***
 