Festival ini hadir di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap eksploitasi sumber daya alam, deforestasi, serta ancaman terhadap masyarakat adat dan ekosistem perkotaan.
Pembatasan kebebasan berekspresi melalui musik pun menjadi tantangan yang semakin nyata, dengan tagar #IndonesiaGelap mencerminkan keresahan publik terhadap situasi sosial-politik saat ini.
Sonic/Panic Jakarta tidak hanya membahas urgensi perlindungan lingkungan, tetapi juga menerapkan praktik berkelanjutan dalam penyelenggaraannya.
Acara ini menyediakan water refill station untuk mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai serta memastikan tidak ada produk dengan kemasan plastik digunakan, baik oleh pengunjung maupun musisi.
Makanan dan minuman untuk musisi serta panitia disajikan dalam wadah daur ulang, sementara gelang panitia dibuat dari kain perca sebagai bentuk komitmen pengurangan limbah.
Upaya ini menegaskan bahwa industri musik dapat mengambil langkah nyata untuk lebih ramah lingkungan dan menginspirasi ekosistem musik yang lebih sadar akan dampaknya terhadap bumi.
Sonic/Panic Jakarta juga bertujuan memperluas jangkauan pesan krisis iklim melalui album Sonic/Panic dan Sonic/Panic Vol.2, yang sebelumnya telah diperkenalkan lewat IKLIM Fest di Bali serta roadshow di Yogyakarta dan Malang.
Album kompilasi ini melibatkan 28 musisi dari berbagai genre yang menyuarakan keprihatinan dan harapan terhadap masa depan bumi.
Dengan semangat yang terbangun di Jakarta, musisi yang tergabung dalam inisiatif IKLIM akan terus bergerak.
Musik sebagai alat perlawanan tidak berhenti di satu panggung—pesannya akan terus menggema di berbagai ruang dan platform, menghubungkan lebih banyak orang dalam perjuangan menghadapi krisis iklim.