Tak hanya itu, anak-anak juga diajak untuk berani menyuarakan pendapat tentang kondisi kota mereka melalui sesi diskusi kelompok dan presentasi.
“Mereka ditantang untuk speak-up, baik secara individu maupun bersama-sama, menyampaikan apa yang menurut mereka kurang dari kota ini,” tambah Popo, sembari menekankan pentingnya pelatihan kepemimpinan sejak dini.
Popo juga memberikan contoh nyata kontribusi terhadap lingkungan yang diterapkan di kantornya, seperti menyisakan ruang untuk hutan kecil dan membuat kandang ayam untuk mengelola sisa makanan.
“Menyelamatkan kota bisa dimulai dari hal-hal kecil, dari lingkungan terdekat, dari diri kita sendiri,” tegasnya.
Di balik kemasan yang kreatif, workshop ini juga dirancang sebagai ruang sehat bagi anak-anak yang selama ini tertekan oleh beban akademik dan kompetisi di sekolah.
“Kami ingin menciptakan ruang yang tak hanya edukatif, tapi juga menyenangkan, terutama bagi anak-anak yang selama liburan tidak punya akses ke aktivitas kreatif,” kata Popo.

Ia juga berharap inisiatif serupa bisa diadopsi oleh arsitek lain maupun profesi profesional lainnya, agar anak-anak lebih dekat mengenal dunia kerja sejak dini.
Program Architecture for Kids juga terbukti membawa dampak jangka panjang. Popo mengisahkan bahwa saat memberikan ceramah di Tokyo, ia bertemu dengan Akihiro Kamiya, peserta program dari masa lalu yang kini menulis tentang pengalamannya di buku terbitan 2014, dalam konteks acara serupa yang diadakan arsitek terkenal Jepang, Toyo Ito.
“Hal seperti ini menjadi bukti bahwa pengalaman masa kecil bisa memberi pengaruh besar pada pilihan hidup dan masa depan seseorang,” tutup Popo. ***