Kata dia penggunaan sachet adalah strategi produsen untuk meraup untung besar dari pasar kelas bawah, namun mengabaikan beban lingkungan yang ditimbulkan. “Produsen untung, masyarakat yang menanggung dampaknya,” tandasnya.
Kholid juga menyesalkan adanya kesan diskriminatif dalam kebijakan pengelolaan sampah. “Sampah AMDK justru bernilai dan bisa didaur ulang, tapi dilarang. Sementara sachet yang lebih mencemari malah dibiarkan. Seolah Pemprov Bali menganggap limbah sachet tidak berbahaya,” ujarnya.
Senada dengan itu, Koordinator Audit Merek Ecoton Alaika Rahmatullah mengungkapkan keresahan serupa.
Kata Alaika produsen besar yang terus menjual sachet menciptakan paradoks. “Mereka terus produksi, tapi lepas tangan dari tanggung jawab lingkungan. SE Gubernur pun tak menyentuh akar masalah ini,” ucap Alaika.
Alaika menekankan pentingnya kebijakan yang tidak tebang pilih. “Justru yang sulit didaur ulang seperti sachet yang harusnya dilarang, bukan AMDK yang bisa dimanfaatkan kembali,” katanya.
Sementara itu, Ninditha Proboretno dari Nexus3 Foundation juga menyerukan pelarangan menyeluruh terhadap plastik sekali pakai, termasuk sachet dari produk makanan, minuman, hingga kebutuhan kebersihan.
Nindhita mengatakan audit merek Nexus3 di Bali pada 2019 juga menemukan dominasi limbah sachet yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan besar.
“Kalau serius mau mengurangi sampah plastik, larangan harus menyeluruh. Sachet tidak bisa terurai, sulit didaur ulang, dan tidak punya nilai jual,” tegas Ninditha.
Diketahui, pelarangan AMDK di bawah satu liter di Bali mengacu pada riset Sungai Watch yang dirangkum dalam Sungai Watch Impact Report 2024.
Audit mereka sepanjang 2024 di Bali dan Banyuwangi mencatat bahwa 5,5% dari total sampah yang terjaring di sungai adalah sachet, sementara sampah plastik AMDK hanya 4,4%.
Data ini memperkuat alasan para aktivis mempertanyakan mengapa SE Gubernur Bali tentang Gerakan Bali Bersih Sampah Plastik tidak menyentuh masalah sachet—padahal dampaknya nyata dan dominan.***
