Kini, masyarakat hanya berstatus petani tanpa lahan. Mereka terpaksa bekerja serabutan. Meski kondisi sulit, Tiomerli tetap teguh memimpin Serikat Petani Sejahtera Indonesia (Sepasi), merangkul warganya agar tidak menyerah.
“Kami tahu ini tanah negara, tapi kami rakyat Indonesia juga berhak atasnya. Kalau diberi tali asih Rp30 juta, kami bisa pindah ke mana?” ujarnya.
Mereka telah melayangkan protes ke berbagai lembaga, termasuk DPR RI dan Komnas HAM. Komnas HAM bahkan telah mengeluarkan surat rekomendasi agar aktivitas perusahaan dihentikan, namun diabaikan. Sementara, Peraturan Menteri terbaru 2024 menyebut wilayah mereka tidak lagi diperuntukkan sebagai lahan perkebunan.
Wati: Perempuan Tangguh dari Ciamis yang Tak Mau Mundur
Di Banjaranyar, Ciamis, bertani bukan sekadar pekerjaan, tapi sumber kehidupan. Wati tahu betul makna tanah bagi keberlangsungan keluarga.
“Kalau tidak ada lahan pertanian, kami makan apa? Bangun rumah dari mana?” katanya tegas.
Selama 24 tahun, warga berjuang agar lahan yang mereka garap bisa diakui negara. Sebagian telah mendapat sertifikat, sebagian masih berjuang. Di tengah proses itu, Wati menjadi motor penggerak, menyadarkan para perempuan bahwa perjuangan tanah bukan hanya urusan laki-laki.
Lewat pengajian dan kegiatan ibu-ibu, ia menyisipkan edukasi soal hak agraria. Ia mengajak perempuan untuk berani bicara di depan umum, paham hukum tanah, dan aktif di organisasi. Wati sendiri tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) yang sejak awal menempatkan perempuan sebagai pemilik hak yang setara.
“Kami ingin perempuan juga tercatat sebagai pemohon tanah. Bahkan ada ibu-ibu yang mendaftar dua persil atas nama sendiri, karena suaminya takut didatangi polisi,” ceritanya.
Kini, Banjaranyar 2 sudah mendapatkan sertifikat. Sekolah-sekolah rakyat pun mulai dibangun. Tapi perjuangan belum usai. Wati masih bercita-cita membangun perguruan tinggi di tanah kelahirannya. “Jangan takut pada kebenaran. Perjuangan ini tidak mudah, tapi hasilnya akan indah,” katanya yakin.