Pembangunan Masif Ancam Hak Atas Tanah: Kisah Gigih Luh Sumantri dan Dua Perempuan Petani

18 April 2025, 20:46 WIB

INIBALI.COM – Pembangunan jalan tol, perumahan luas, dan proyek-proyek infrastruktur lainnya kerap menjadi simbol kemajuan.

Namun, di balik kemewahan kota yang dibangun, tersimpan ancaman nyata bagi masyarakat akar rumput.

Model pembangunan yang mengedepankan ekspansi lahan seringkali mengorbankan kelompok rentan: petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, hingga kelompok marjinal lainnya.

“Jika proses pembangunan tidak dijalankan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan, maka akan banyak pihak yang terdampak. Mereka yang selama ini terpinggirkan dalam sistem agraria Indonesia akan semakin terdesak,” ujar Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam forum Asia Land Forum (ALF) yang digelar Februari lalu.

ALF merupakan forum tahunan untuk mendorong kolaborasi inklusif antara masyarakat sipil dan pemerintah dalam mengatur ulang sistem pertanahan dan pengelolaan sumber daya alam. Dewi menekankan bahwa kekayaan alam Asia dan besarnya jumlah penduduk menciptakan tantangan besar, terutama dalam hal keadilan agraria.

Di Indonesia sendiri, ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria menjadi masalah kronis. Tiga perempuan petani berikut adalah wajah dari perjuangan panjang melawan ketidakadilan tersebut:

Tiomerli Sitinjak: Tak Gentar Hadang Ekskavator Demi Tanah Leluhurnya
Lebih dari 20 tahun Tiomerli bertani di lahan peninggalan orang tuanya di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Namun pada 2022, hidupnya berubah drastis. Perusahaan perkebunan kembali mengklaim lahan yang sudah belasan tahun digarap warga, mengerahkan 700 orang dan 16 ekskavator untuk menggusur rumah dan ladang.

“Tanpa rasa takut, kami berlari menghadang. Tanah ini hidup kami. Hasil tani ini menyekolahkan anak-anak kami,” ujar Tiomerli dengan suara bergetar.

Lahan itu dulunya sempat menjadi HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan, namun masa berlakunya berakhir pada 2004. Sejak itu warga membangun permukiman dan sarana ibadah. Tapi ketika HGU diperpanjang kembali tanpa konsultasi publik, mereka kembali diusir.

Berita Terkait