Luh Sumantri: Dua Dekade Menanti Kepastian di Tanah Sendiri
Sumantri dan keluarganya kembali ke Bali setelah puluhan tahun menjadi transmigran di Timor Timur. Di tanah kelahirannya sendiri, ia justru tidak memiliki hak atas tanah yang telah digarap selama 21 tahun.
“Di Timor Timur kami lebih mudah mendapat lahan dan pekerjaan. Di sana, pemerintah langsung menerbitkan sertifikat,” ujar Sumantri.
Di Desa Sumberklampok, Buleleng, Sumantri bersama 107 kepala keluarga eks-transmigran masih menunggu pengakuan atas lahan garapan seluas 136 hektare. Lahan itu telah mereka tanami berbagai hasil bumi, namun sertifikat tak kunjung keluar.
Meski tak ada intimidasi fisik, mereka tetap hidup dalam ketidakpastian. Sumantri mendampingi suaminya, I Nengah Kisid, yang memimpin perjuangan lewat pemetaan partisipatif dan aksi damai.
“Kami tidak tahu kebijakan pemerintah ke depan. Pemimpin berganti, aturan bisa berubah. Kami hanya ingin jaminan agar anak-cucu kami tidak terusir,” ujarnya.
Ketiga perempuan ini mewakili ribuan kisah perjuangan petani Indonesia. Mereka adalah wajah dari harapan dan keberanian yang tak padam, menuntut keadilan di tengah arus pembangunan yang kerap tak berpihak pada rakyat kecil.***