INIBALI.COM – Desa Adat Mengani di Kabupaten Bangli menyimpan kekayaan tradisi dan kearifan lokal yang terus dilestarikan, salah satunya adalah tradisi “ngejuk wadak”—prosesi sakral mengejar sapi Bali yang disakralkan dan dilepasliarkan, disebut “jro gede” sebagai bentuk penghormatan.
Prosesi ini tak sekadar ritual, melainkan simbol kuatnya kebersamaan dan gotong royong masyarakat, dimulai dengan upacara di Pura Bale Agung sebagai bentuk permakluman kepada Sang Hyang Pencipta agar kegiatan berlangsung lancar.
Wadak yang hanya tiga ekor, awalnya berasal dari godel (anak sapi jantan) yang disucikan dalam upacara ngrasakin dan dilepas ke alam liar, lalu ditangkap kembali menjelang upacara panguangan di bulan kedasa sebagai bagian dari rangkaian ritual pertanian padi gaga.
Tradisi ini juga memberi ruang bagi krama yang merasa hidupnya membaik untuk menghaturkan “bulu geles” sebagai wujud rasa syukur.
Ngejuk wadak menjadi momen yang sangat dinantikan, melibatkan seluruh lapisan warga, dari anak-anak hingga lansia, dengan semangat kolektif tanpa perlu arahan formal.
Upacara puncak yang berlangsung antara 12–20 April 2025 itu tak hanya memperlihatkan kekuatan spiritual dan sosial warga, tetapi juga menjadi cerminan ketahanan pangan serta bentuk solidaritas desa.
Menurut Jro Bayan Mucuk I Wayan Pasek persembahyangan ini bertujuan agar ngejuk wadak bisa berjalan lancer.
“Wadak saat pembuatannya sudah disucikan, ketika ditangkap juga harus didahului penyucian diri bagi krama dan peralatan yang digunakan. Tali yang digunakan untuk menangkap juga diperciki tirta (air suci) sebelum digunakan,” ujar tokoh Mengani yang juga Pekaseh Subak Giri Merta Yoga itu.
Akademisi sekaligus warga setempat Dr. I Made Sarjana menyebut tradisi ini sebagai warisan berharga yang mengakar dalam sistem pertanian dan kehidupan komunal masyarakat Mengani, serta menjadi modal sosial yang penting untuk mendorong kemajuan desa di masa depan.***